Sabtu, 23 Juli 2011

Tari Klasik Kraton Surakarta Merupakan Suguhan ala Bangsawan

Gending pembuka sudah dimainkan. Tidak hanya suara gamelan yang terdiri dari gong, saron, bonang, kethuk, kenong dan kendang, tetapi juga sesekali terdengar suara beduk dan snare drum yang menimbulkan irama baris berbaris dalam tempo lambat.

  Dari sudut Siti Hinggil, empat orang penari kraton melangkah pelan-pelan menuju arena pertunjukan. Bau wangi dupa dan asap kemenyan berhembus memenuhi setiap sudut ruangan, sengaja dibakar oleh para abdi dalem kerajaan. Sementara itu, taburan bunga mawar berjatuhan mengiringi setiap langkah penari yang membawanya dalam lipatan kain jarit yang dibuat mengekor di belakang tumit. Khidmat! Demikian kira-kira nuansa yang terbangun selama pertunjukan tari ini dipergelarkan.

travel_img_3033jpg- Gerak penari-penari itu lembut namun tidak membosankan. Pengunjung umum yang boleh jadi tidak mengerti seni sekalipun, larut terpaku dalam pertunjukan berdurasi selama hampir 30 menit. Boleh jadi, ini karena pertunjukan tersebut jarang dijumpai. Tidak sekedar menampilkan tarian jawa yang itu-itu saja, pertunjukan malam itu mempertontonkan tari klasik khas Kraton Surakarta. Yang lebih istimewa karena masyarakat umum diperkenankan untuk menyaksikan jalannya pertunjukan.
 Penampilan pertama, sebagai pembuka, adalah Tari Srimpi Sukarsih yang ditarikan oleh 4 orang penari kraton. Tarian ini merupakan gubahan Pakoe Boewana VIII yang hidup pada pertengahan abad ke-19. Konon, tarian ini dipersembahkan sang raja -pada saat masih menjadi putra mahkota- untuk mengenang kecantikan salah satu sinden kerajaan yang bernama Nyi. Sukarsih. Tidak berlebihan apabila setiap gerakannya melambangkan keanggunan luar biasa pada diri puteri-puteri di lingkungan istana. Malam itu pula, satu diantara 4 penari ternyata masih berdarah biru. Adalah BRA. Salindri, yang merupakan cucu dari Pakoe Boewana XII.
   Pada pertunjukan kedua ditampilkan tari putra yang berjudul  Lawung Kasenopaten. Kesamaan dengan tarian pertama terletak pada penari yang berjumlah 4 orang. Kali ini, masing-masing menggunakan tombak panjang serta menampilkan atraksi-atraksi bak peperangan. Tari tersebut menggambarkan laga antara Danang Sutawijaya dengan Arya Penangsang pada jaman Kerajaan Pajang. Lawung, juga merupakan tarian yang dulunya wajib dikuasai oleh para pangeran jawa. Mengkombinasikan antara seni bela diri, tari dan penguasaan senjata, walhasil Tari Lawung menggambarkan kegagahan ksatria jawa.

     Disebut sebagai tari klasik jawa karena bersumber pada tradisi budaya di lingkungan kraton. Semua gerakan baik itu tangan, kaki, badan maupun kepala memiliki aturan sendiri-sendiri. Gerakan tertentu bahkan memiliki filosofi yang sarat pesan, tidak sekedar melambangkan sebuah aktivitas. Belum lagi pakaian yang harus dikenakan dan musik yang mengiringi. Unsur-unsur itulah yang membuatnya berbeda dengan tari-tarian rakyat yang bersumber pada ekspresi masyakarat tempat dimana tarian itu berkembang. Menikmati tari klasik jawa di tempatnya dilahirkan, ibarat menjadi bangsawan di masa kerajaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...