Kamis, 20 Desember 2012

BANGKITKAN SEMANGAT BELA NEGARA DLM PEMBERDAYAAN WILAYAH PERBATASAN


   Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai negara maritim telah mendapatkan pengukuhan statusnya dengan Hukum Laut Internasional 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS 1982).   Dengan demikian NKRI telah mendapat jaminan atas hak-haknya sebagai negara maritim, namun juga dituntut untuk melaksanakan kewajiban dan tanggungjawabnya di laut terhadap dunia (pelayaran) Internasional.  Berkah yang diberikan UNCLOS 1982 ini sepatutnya kita syukuri, karena Indonesia-lah negara yang paling diuntungkan, mengingat NKRI adalah negara maritim yang memiliki wilayah perairan terluas, lebih luas dari wilayah daratan (3x luas daratan : luas daratan 2.027 km2, luas perairan 6.184.280 km2).   Ada 3 negara  yang  berbatasan   darat dengan NKRI yaitu Malaysia, PNG dan Timor Leste dan ada 10 negara yang berbatasan laut dengan NKRI yaitu : Malaysia, Singapura, Thailand, India, Singapura, PNG, Australia, Vietnam, Filipina dan Palos.9  Sebagian  besar negara-negara  tersebut berada disebelah utara NKRI yang relatif penduduknya lebih padat daripada penduduk pulau pulau Indonesia yang berbatasan dengan negara-negara tersebut yaitu : Kalimantan, Sulawesi, Kep. Maluku dan Papua.

Permasalahan kawasan perbatasan darat dirasakan lebih berat dan lebih rumit.  Penegasan garis batas (border lines) antara RI  Malaysia di Pulau Kalimantan yang telah dikerjakan sejak 1975, sepanjang + 2004 km hingga saat ini belum tuntas diundangkan, karena ada permasalahan (perbedaan pandangan) pada sejumlah segmen batas yang belum disepakati.   Demikian pula dengan perbatasan darat RI  PNG di Papua (+ 715 km) dan RI  Timor Leste di Pulau Timor (+ 150 km).   Padahal keberadaan garis batas yang sudah sah secara hukum adalah sangat penting karena border lines ini merupakan prasarana utama penegakan wilayah kedaulatan negara sekaligus merupakan sarana perekat kesatuan bangsa.  Penetapan batas wilayah negara di darat lebih sulit, karena menyangkut banyak faktor kendala yaitu  :
-           Sumberdaya alam (SDA), 
-           Kesamaan etnik penduduk, beserta tradisi masyarakat di bidang ekonomi, sosial,
            budaya dan agama/ kepercayaan,
-           Kondisi geografis/geomorfologis zona perbatasan dan
-           Perbedaan pandangan dari dua negara yang berbatasan.


Namun bagaimanapun batas negara adalah sesuatu yang wajib adanya, karena menjadi satu persyaratan berdirinya sebuah negara yang menyebutkan adanya suatu wilayah yang pasti, tentunya jelas batas-batasnya.  Bilamana batas yang legal/tetap belum dapat diwujudkan, paling tidak harus ada kesepakatan batas sementara (provisional arrangement).  Tanpa adanya border lines, pelanggaran dan kejahatan yang terjadi di zona perbatasan akan sangat susah dicegah dan diberantas. 

         Kondisi Perbatasan.      

Kondisi Geografi (wilayah, SDA, SDB, Sarpras).  Kondisi zona perbatasan darat NKRI pada umumnya relatif lemah. Wilayah yang terdiri dari medan dengan topografi kasar, terbukit/bergunung yang dicabik-cabik oleh lembah aliran sungai.  SDA-nya secara homogen didominasi oleh hutan alam (primer dan sekunder) dengan kondisi lahan yang miskin.  SDB nya sangat terbatas, berupa jaringan jalan sederhana dan jalan setapak.  Jalan diperkeras/aspal sangat terbatas pada akses ke Poslintas Batas.  Medan yang berat sangat menyulitkan pembuatan jalan raya.  Sarprasnya berupa permukiman dengan prasarana yang sangat sederhana.  Pilar-pilar batas sebagai sarana penegakan hukum dan kedaulatan wilayah Negara.
 
 Faktor-faktor Penyebab Lemahnya Kondisi Perbatasan Negara.

a.          Wilayah perbatasan jauh dari pusat pemerintahan, menyebabkan rentang kendali (span of control) dan pengawasan pemerintah terhadap wilayah perbatasan sangat lemah.

b.      Masih ada beberapa segmen batas (darat dan laut) yang bermasalah (belum ada kesepakatan kedua belah pihak).  Sementara itu garis batas yang sudah ditegaskan diukur dan diberi patok batas juga belum ditetapkan secara hukum. 

c.      Keterbatasan kemampuan dan kekuatan aparatur keamanan perbatasan menyebabkan lemahnya pencegahan, penangkalan dan pemberantasan aktivitas pelanggaran batas dan kejahatan yang terjadi di daerah perbatasan.

d.      Medan yang berat dan jauhnya kawasan perbatasan dari pusat-pusat pemerintahan serta permukiman penduduk, memberikan peluang yang besar terjadinya border crimes seperti  : illegal logging/mining/fishing, human trafficking, penyelundupan senjata/narkoba/miras/sembako, illegal immigration, perompakan (piracy) dan lain-lain.

e.      Rendahnya kesadaran geografi maritim, sehingga masyarakat kita tidak memiliki kebanggaan atas wilayah perairan yang luas dan kaya sumberdaya.  Hal ini terbukti dengan hanya sedikitnya penduduk Indonesia yang berkiprah/bermata pencaharian di laut.

f.       Lemahnya hukum dan peraturan perundang-undangan perbatasan.  Hal ini tidak lepas dari belum absahnya (legal) garis batas negara karena peraturan perundangundangan tersebut, salah satu rujukan utamanya adalah garis batas negara yang sudah tetap/absah belum ada.

g.      Kevakuman aktivitas di kawasan perbatasan.  Penduduk perbatasan yang sangat jarang menyebabkan rendahnya aktivitas penduduk bahkan pada kawasan pedalaman perbatasan darat dan kawasan perbatasan laut yang letaknya sangat jauh dari pulau-pulau berpenduduk sama sekali tidak ada aktivitas.

Upaya-upaya yang disarankan untuk dilakukan adalah sebagai berikut  :

a.      Menambah jumlah dan meningkatkan kemampuan serta pemberdayaan aparat keamanan yang ditempatkan di wilayah perbatasan darat dan laut.  Untuk kesatuan TNI misalnya melalui TMMD, Karya Bhakti, Bakti TNI, Komunikasi soaial TNI dan Operasi Bhakti untuk membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat guna menumbuhkan kesadaran bela negara serta rasa kebangsaan.
b.    Menuntaskan penyelesaian masalah penetapan garis perbatasan dan masalahmasalah krusial lainnya yang sering terjadi di kawasan perbatasan darat seperti para pelintas batas tradisional dari kedua negara, kolaborasi antara penduduk perbatasan dengan cukong-cukong dari negara tetangga untuk perbuatan jahat seperti illegal logging, illegal mining, human trafficking, smugling, dan lain-lain.  Untuk perbatasan laut, melanjutkan kembali pertemuan bilateral guna menyelesaikan atau mencapai kesepakatan perbatasan laut kedua negara dan meningkatkan kegiatan patroli terkoordinasi dengan negara-negara tetangga.

c.       Menambah jumlah penduduk perbatasan terutama pada lokasi strategis, 

d.       Mengubah paradigma dan pandangan yang selama ini memandang dan memperlakukan wilayah perbatasan sebagai daerah belakang (periphery areas) menjadi daerah depan (frontier areas).  
e.       Menambah porsi pelajaran geografi nasional, termasuk grografi maritim Indonesia pada kurikulum pendidikan mulai tingkat dasar (SD) dan lanjutan (SMP dan SMU).  

f.       Mengembangkan produk hukum, peraturan dan perundang-undangan yang mengenai problematika daerah perbatasan, baik darat maupun laut serta perjanjian perbatasan antara RI dengan negara tetangga dalam menangani kejahatan lintas negara (transborder crimes) seperti smugling (penyelundupan), human trafficking dan terrorism.  
g.       Pelibatan berbagai pihak (stokeholders) dari kalangan pemerintah dan masyarakat guna membangun kebersamaan dan kesatuan dalam menghadapi segala bentuk ancaman dan gangguan keamanan dan kejahatan bersenjata maupun non bersenjata.  

          Untuk menjadikan nilai strategis wilayah perbatasan agar berdayaguna, maka wilayah perbatasan tersebut harus dibangun, dibina, dan diberdayakan.  Artinya ada upaya yang sungguh-sungguh dan terprogram, sehingga dari tahun ke tahun wilayah perbatasan mengalami kemajuan.  Berbicara tentang zona wilayah perbatasan negara,  meliputi  segala  sumberdaya  yang  ada  didalamnya,  yaitu sumberdaya  alam (SDA),

sumberdaya buatan (SDB), sumberdaya manusia (SDM), sarana prasarana (Sarpras), tata nilai, Iptek dan wilayah itu sendiri sebagai ruang.  Dalam ”bahasa” Binter (pembinaan teritorial), SDA, SDB, Sarpras dan wilayah termasuk dalam ranah ”geografi”, SDM masuk dalam ranah ”demografi” dan sumberdaya yang lainnya termasuk ke dalam ranah ”kondisi sosial”.  Pemberdayaan sumberdaya yang satu dengan sumberdaya yang lainnya saling mempengaruhi secara positif, demikian pula sebaliknya kerusakan terhadap salah satu sumberdaya akan berpengaruh negatif terhadap sumberdaya lainnya.   Oleh karena itu perbedaan ketiga ranah Binter itu tidak bisa dilakukan secara parsial, tetapi harus secara bersamaan, sinergis, dan terkendali.          
 
 Dengan   semakin    baiknya   tingkat kesejahteraan, diharapkan kesadaran idiologi, politik, pendidikan, hukum dan lain-lain yang menyangkut kewarganegaraan/karakter bangsa yang baik dapat dibangun, dibina dan dikembangkan.   Pada gilirannya harapan atas masyarakat perbatasan yang sejahtera, cinta tanah air Indonesia, bangga menjadi warga negara Indonesia dan siap membela negara akan terwujud.  Pembinaan untuk mewujudkan masyarakat wilayah perbatasan seperti itu hanya mungkin dilakukan melalui Program Pemberdayaan Wilayah Perbatasan Terpadu yang melibatkan semua unsur Kementerian/LPNK, Pemda dan LSM terkait, masyarakat  maupun TNI/Polri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...