Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai negara maritim telah mendapatkan pengukuhan statusnya dengan Hukum Laut Internasional 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS 1982). Dengan demikian NKRI telah mendapat jaminan atas hak-haknya sebagai negara maritim, namun juga dituntut untuk melaksanakan kewajiban dan tanggungjawabnya di laut terhadap dunia (pelayaran) Internasional. Berkah yang diberikan UNCLOS 1982 ini sepatutnya kita syukuri, karena Indonesia-lah negara yang paling diuntungkan, mengingat NKRI adalah negara maritim yang memiliki wilayah perairan terluas, lebih luas dari wilayah daratan (3x luas daratan : luas daratan 2.027 km2, luas perairan 6.184.280 km2). Ada 3 negara yang berbatasan darat dengan NKRI yaitu Malaysia, PNG dan Timor Leste dan ada 10 negara yang berbatasan laut dengan NKRI yaitu : Malaysia, Singapura, Thailand, India, Singapura, PNG, Australia, Vietnam, Filipina dan Palos.9 Sebagian besar negara-negara tersebut berada disebelah utara NKRI yang relatif penduduknya lebih padat daripada penduduk pulau pulau Indonesia yang berbatasan dengan negara-negara tersebut yaitu : Kalimantan, Sulawesi, Kep. Maluku dan Papua.
Permasalahan
kawasan perbatasan darat dirasakan lebih berat dan lebih rumit. Penegasan garis batas (border lines) antara
RI Malaysia di Pulau Kalimantan yang
telah dikerjakan sejak 1975, sepanjang + 2004 km hingga saat ini belum tuntas
diundangkan, karena ada permasalahan (perbedaan pandangan) pada sejumlah segmen
batas yang belum disepakati. Demikian
pula dengan perbatasan darat RI PNG di
Papua (+ 715 km) dan RI Timor Leste di
Pulau Timor (+ 150 km). Padahal
keberadaan garis batas yang sudah sah secara hukum adalah sangat penting karena
border lines ini merupakan prasarana utama penegakan wilayah kedaulatan negara
sekaligus merupakan sarana perekat kesatuan bangsa. Penetapan batas wilayah negara di darat lebih
sulit, karena menyangkut banyak faktor kendala yaitu :
- Sumberdaya
alam (SDA),
- Kesamaan
etnik penduduk, beserta tradisi masyarakat di bidang ekonomi, sosial,
budaya dan agama/ kepercayaan,
- Perbedaan
pandangan dari dua negara yang berbatasan.
Namun bagaimanapun batas negara adalah sesuatu yang
wajib adanya, karena menjadi satu persyaratan berdirinya sebuah negara yang
menyebutkan adanya suatu wilayah yang pasti, tentunya jelas
batas-batasnya. Bilamana batas yang
legal/tetap belum dapat diwujudkan, paling tidak harus ada kesepakatan batas
sementara (provisional arrangement). Tanpa adanya border lines, pelanggaran dan kejahatan yang terjadi di zona
perbatasan akan sangat susah dicegah dan diberantas.
Kondisi
Perbatasan.
Kondisi Geografi (wilayah, SDA, SDB,
Sarpras). Kondisi zona perbatasan darat
NKRI pada umumnya relatif lemah. Wilayah yang terdiri dari medan dengan
topografi kasar, terbukit/bergunung yang dicabik-cabik oleh lembah aliran sungai. SDA-nya secara homogen didominasi oleh hutan
alam (primer dan sekunder) dengan kondisi lahan yang miskin. SDB nya sangat terbatas, berupa jaringan
jalan sederhana dan jalan setapak. Jalan
diperkeras/aspal sangat terbatas pada akses ke Poslintas Batas. Medan yang berat sangat menyulitkan pembuatan
jalan raya. Sarprasnya berupa permukiman
dengan prasarana yang sangat sederhana.
Pilar-pilar batas sebagai sarana penegakan hukum dan kedaulatan wilayah
Negara.
Faktor-faktor Penyebab Lemahnya Kondisi
Perbatasan Negara.
a.
Wilayah
perbatasan jauh dari pusat pemerintahan, menyebabkan rentang kendali (span of control) dan pengawasan
pemerintah terhadap wilayah perbatasan sangat lemah.
b.
Masih ada beberapa segmen batas (darat dan laut) yang bermasalah (belum
ada kesepakatan kedua belah pihak).
Sementara itu garis batas yang sudah ditegaskan diukur dan diberi patok
batas juga belum ditetapkan secara hukum.
c.
Keterbatasan kemampuan dan kekuatan aparatur keamanan perbatasan
menyebabkan lemahnya pencegahan, penangkalan dan pemberantasan aktivitas
pelanggaran batas dan kejahatan yang terjadi di daerah perbatasan.
d.
Medan yang berat dan jauhnya kawasan perbatasan dari pusat-pusat
pemerintahan serta permukiman penduduk, memberikan peluang yang besar
terjadinya border crimes seperti : illegal
logging/mining/fishing, human trafficking, penyelundupan
senjata/narkoba/miras/sembako, illegal
immigration, perompakan (piracy)
dan lain-lain.
e.
Rendahnya kesadaran geografi maritim, sehingga masyarakat kita tidak
memiliki kebanggaan atas wilayah perairan yang luas dan kaya sumberdaya. Hal ini terbukti dengan hanya sedikitnya
penduduk Indonesia yang berkiprah/bermata pencaharian di laut.
f.
Lemahnya hukum dan peraturan perundang-undangan perbatasan. Hal ini tidak lepas dari belum absahnya
(legal) garis batas negara karena peraturan perundangundangan tersebut, salah
satu rujukan utamanya adalah garis batas negara yang sudah tetap/absah belum
ada.
g.
Kevakuman aktivitas di kawasan perbatasan. Penduduk perbatasan yang sangat jarang
menyebabkan rendahnya aktivitas penduduk bahkan pada kawasan pedalaman
perbatasan darat dan kawasan perbatasan laut yang letaknya sangat jauh dari pulau-pulau
berpenduduk sama sekali tidak ada aktivitas.
a. Menambah jumlah dan meningkatkan kemampuan serta pemberdayaan aparat
keamanan yang ditempatkan di wilayah perbatasan darat dan laut. Untuk kesatuan TNI misalnya melalui TMMD,
Karya Bhakti, Bakti TNI, Komunikasi soaial TNI dan Operasi Bhakti untuk
membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat guna menumbuhkan kesadaran bela
negara serta rasa kebangsaan.
b. Menuntaskan penyelesaian masalah penetapan garis perbatasan dan
masalahmasalah krusial lainnya yang sering terjadi di kawasan perbatasan darat
seperti para pelintas batas tradisional dari kedua negara, kolaborasi antara
penduduk perbatasan dengan cukong-cukong dari negara tetangga untuk perbuatan
jahat seperti illegal logging, illegal mining, human trafficking, smugling, dan
lain-lain. Untuk perbatasan laut,
melanjutkan kembali pertemuan bilateral guna menyelesaikan atau mencapai
kesepakatan perbatasan laut kedua negara dan meningkatkan kegiatan patroli
terkoordinasi dengan negara-negara tetangga.
c.
Menambah jumlah penduduk perbatasan terutama pada lokasi strategis,
d.
Mengubah paradigma dan pandangan yang selama ini memandang dan
memperlakukan wilayah perbatasan sebagai daerah belakang (periphery areas)
menjadi daerah depan (frontier areas).
e.
Menambah porsi pelajaran geografi nasional, termasuk grografi maritim
Indonesia pada kurikulum pendidikan mulai tingkat dasar (SD) dan lanjutan (SMP
dan SMU).
f.
Mengembangkan produk hukum, peraturan dan perundang-undangan yang
mengenai problematika daerah perbatasan, baik darat maupun laut serta
perjanjian perbatasan antara RI dengan negara tetangga dalam menangani
kejahatan lintas negara (transborder crimes) seperti smugling (penyelundupan),
human trafficking dan terrorism.
g.
Pelibatan berbagai pihak (stokeholders) dari kalangan pemerintah dan
masyarakat guna membangun kebersamaan dan kesatuan dalam menghadapi segala
bentuk ancaman dan gangguan keamanan dan kejahatan bersenjata maupun non
bersenjata.
Untuk
menjadikan nilai strategis wilayah perbatasan agar berdayaguna, maka wilayah
perbatasan tersebut harus dibangun, dibina, dan diberdayakan. Artinya ada upaya yang sungguh-sungguh dan
terprogram, sehingga dari tahun ke tahun wilayah perbatasan mengalami
kemajuan. Berbicara tentang zona wilayah
perbatasan negara, meliputi segala sumberdaya
yang ada didalamnya,
yaitu sumberdaya alam (SDA),
sumberdaya buatan (SDB), sumberdaya manusia (SDM),
sarana prasarana (Sarpras), tata nilai, Iptek dan wilayah itu sendiri sebagai
ruang. Dalam ”bahasa” Binter (pembinaan
teritorial), SDA, SDB, Sarpras dan wilayah termasuk dalam ranah ”geografi”, SDM
masuk dalam ranah ”demografi” dan sumberdaya yang lainnya termasuk ke dalam
ranah ”kondisi sosial”. Pemberdayaan
sumberdaya yang satu dengan sumberdaya yang lainnya saling mempengaruhi secara
positif, demikian pula sebaliknya kerusakan terhadap salah satu sumberdaya akan
berpengaruh negatif terhadap sumberdaya lainnya. Oleh karena itu perbedaan ketiga ranah
Binter itu tidak bisa dilakukan secara parsial, tetapi harus secara bersamaan,
sinergis, dan terkendali.
Dengan semakin baiknya
tingkat kesejahteraan, diharapkan kesadaran idiologi, politik,
pendidikan, hukum dan lain-lain yang menyangkut kewarganegaraan/karakter bangsa
yang baik dapat dibangun, dibina dan dikembangkan. Pada gilirannya harapan atas masyarakat
perbatasan yang sejahtera, cinta tanah air Indonesia, bangga menjadi warga
negara Indonesia dan siap membela negara akan terwujud. Pembinaan untuk mewujudkan masyarakat wilayah
perbatasan seperti itu hanya mungkin dilakukan melalui Program Pemberdayaan Wilayah
Perbatasan Terpadu yang melibatkan semua unsur Kementerian/LPNK, Pemda dan LSM
terkait, masyarakat maupun TNI/Polri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar