Bukit Arjuna
SIAPA pun akan kecewa jika berharap akan menemukan gundukan tanah yang menjulang tinggi di Bukit Arjuna. Tempat itu menipu banyak orang dengan namanya. Terletak di pinggiran jalan yang dipenuhi dengan pohon karet tua yang ditanami dengan jarak seimbang. Pohon karet di sisi kanan dan kiri jalan berbaris dengan rapi di atas permukaan tanah yang rata. Mereka terlihat seperti serdadu tua yang kalah perang; kulit-kulit keriput yang tak lagi menghasilkan getah. Ditebang sayang, karena sudah berjasa dan tak ada biaya meremajakan pohonnya setelah perusahaan milik negara mengeksploitasi selama puluhan tahun. Akhirnya dibiarkan telantar sampai kemudian dimanfaatkan warga sekitar yang menyadap getah dari batang-batang yang lelah.
Entah siapa memulai, di tanah datar itu mulai dibangun sejumlah warung. Awalnya hanya warung sederhana dari tepas bambu. Atapnya dari daun rumbia. Tak ada lantai semen, apalagi keramik. Jualannya hanya rokok dan minuman ringan. Beberapa pekan kemudian mulai ada gorengan pisang, tahu, tempe, dan bakwan. Kemudian muncul beberapa kedai minuman. Mulanya hanya minuman kopi dan teh yang diseduh dengan air dari termos. Seiring kian ramainya tempat tersebut, muncul satu-dua warung yang menjual minuman ringan dari kaleng. Mula-mula minuman kaleng biasa, akhirnya ada juga yang menjual minuman beralkohol. Kini semua warung di kebun karet itu menjajakan minuman keras murahan.
Ketika matahari mulai tenggelam sampai muncul kembali keesokan pagi, tempat itu ramai oleh pengunjung. Mereka adalah para sopir truk yang hilir-mudik di jalan antarprovinsi untuk mengangkut berbagai hasil bumi. Malam hari, terutama malam Sabtu dan Minggu, terlihat truk berjejer di pinggir jalan. Sopir memarkirkan truknya dengan rapi seolah mereka tidak ingin mengganggu kelancaran arus lalu lintas. Terkadang ada mobil-mobil pribadi berhenti dan parkir di bawah pohon karet. Mungkin pemiliknya tidak ingin terlihat singgah di tempat itu. Dengan lampu dari warung yang berjejer di kebun karet, dengan lampu kendaraan yang berkelap-kelip saat sopir truk datang dan pergi, Bukit Arjuna terlihat seperti kunang-kunang yang menari sepanjang malam.
Aku sering melintasi tempat itu dalam perjalanan darat menuju Medan. Selama ini, Bukit Arjuna tidak pernah mengundang perhatianku. Kalau jalan di siang hari, Bukit Arjuna sedang mati. Malam hari aku lebih banyak tertidur di dalam bus yang nyaman. Jadi, aku tidak pernah melihat Bukit Arjuna menari seperti kunang-kunang. Bahkan mendengar namanya saja tidak pernah seandainya tidak ada juru kamera sebuah stasiun TV yang diculik sekelompok gerilyawan.
Bersama puluhan wartawan lainnya, aku meliput pembebasan juru kamera tersebut yang kabarnya disandera jauh dari Bukit Arjuna. Lima wartawan yang dipercayai gerilyawan, ikut bersama mediator ke hutan belantara yang menjadi lokasi penyanderaan. Mereka ingin wartawan ikut melihat langsung bahwa sandera diperlakukan secara baik-baik. Gerilyawan terpaksa menyandera juru kamera tersebut karena dalam mobilnya ditemukan seorang perempuan yang ternyata istri tentara. Gerilyawan curiga juru kamera itu intel yang menyaru sehingga ditahan beberapa hari untuk diperiksa. Namun, operasi militer besar-besaran membuat para gerilyawan pindah dari satu hutan ke hutan lainnya sehingga juru kamera itu pun terpaksa dibawa. “Kami sudah berniat melepaskan Arjuna. Tapi operasi militer membuat posisi kami sulit,” begitu kata panglima gerilyawan wilayah timur kepada wartawan melalui telepon satelit.
Nama juru kamera itu memang Arjuna. Aku hendak mengatakannya sebagai sebuah kebetulan. Tapi ustad pernah mengingatkanku bahwa tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Tidak ada sebutir pasir pun yang bergeser dari tempatnya tanpa kehendak Allah. Aku percaya itu.
Sambil menunggu kabar berikutnya, kami memutuskan untuk minum-minum di Bukit Arjuna. Tak peduli munculnya kecurigaan orang maksud keberadaan kami di sana. Wartawan selalu ada dalih; untuk investasi. Dan alasan itu tak sepenuhnya salah ketika kami melihat kenyataan ternyata Bukit Arjuna menjadi tempat pekerja seksual bertransaksi dengan sopir truk. Seorang lelaki tua pemilik warung, bercerita asal muasal nama Bukit Arjuna.
“Dulu, ada wartawan bernama Arjuna disandera dan kemudian ditembak mati. Kabarnya, mayatnya dikuburkan di sini. Tapi tidak diketahui pasti.” Senyum nakal kami saat melirik seorang perempuan muda berpakaian minim seketika cair mendengar kalimat itu. Seorang rekan sampai bertanya kembali untuk menegaskan pendengarannya. Tak ada di antara kami yang pernah mendengar kisah penyanderaan sebelumnya, sehingga setiap kata yang ke luar dari mulut lelaki itu membuat keterkejutan kami kian menjadi. Juru kamera disandera, dan tewas dalam kontak senjata. Gerilyawan terjepit operasi militer besar-besaran, dan kemudian jenazah Arjuna terpaksa dikuburkan seadanya di tempat ini yang tidak diketahui pasti. Mungkin di dalam bilik yang dari dalamnya kami mendengar desahan perempuan, atau jangan-jangan di bawah kaki kami.
Aku memandangi wajah rekan-rekan. Mereka terdiam dengan muka tegang seolah kejadian itu akan terulang lagi terhadap Arjuna. Tak ada di antara kami yang bergerak. Kami masih menunggu, mungkin sampai pagi. Menunggu kabar baik di tempat seburuk ini.
Bukit Arjuna, awal Januari 2011
Sumber Postingan : Ayi Jufridar,
Entah siapa memulai, di tanah datar itu mulai dibangun sejumlah warung. Awalnya hanya warung sederhana dari tepas bambu. Atapnya dari daun rumbia. Tak ada lantai semen, apalagi keramik. Jualannya hanya rokok dan minuman ringan. Beberapa pekan kemudian mulai ada gorengan pisang, tahu, tempe, dan bakwan. Kemudian muncul beberapa kedai minuman. Mulanya hanya minuman kopi dan teh yang diseduh dengan air dari termos. Seiring kian ramainya tempat tersebut, muncul satu-dua warung yang menjual minuman ringan dari kaleng. Mula-mula minuman kaleng biasa, akhirnya ada juga yang menjual minuman beralkohol. Kini semua warung di kebun karet itu menjajakan minuman keras murahan.
Ketika matahari mulai tenggelam sampai muncul kembali keesokan pagi, tempat itu ramai oleh pengunjung. Mereka adalah para sopir truk yang hilir-mudik di jalan antarprovinsi untuk mengangkut berbagai hasil bumi. Malam hari, terutama malam Sabtu dan Minggu, terlihat truk berjejer di pinggir jalan. Sopir memarkirkan truknya dengan rapi seolah mereka tidak ingin mengganggu kelancaran arus lalu lintas. Terkadang ada mobil-mobil pribadi berhenti dan parkir di bawah pohon karet. Mungkin pemiliknya tidak ingin terlihat singgah di tempat itu. Dengan lampu dari warung yang berjejer di kebun karet, dengan lampu kendaraan yang berkelap-kelip saat sopir truk datang dan pergi, Bukit Arjuna terlihat seperti kunang-kunang yang menari sepanjang malam.
Aku sering melintasi tempat itu dalam perjalanan darat menuju Medan. Selama ini, Bukit Arjuna tidak pernah mengundang perhatianku. Kalau jalan di siang hari, Bukit Arjuna sedang mati. Malam hari aku lebih banyak tertidur di dalam bus yang nyaman. Jadi, aku tidak pernah melihat Bukit Arjuna menari seperti kunang-kunang. Bahkan mendengar namanya saja tidak pernah seandainya tidak ada juru kamera sebuah stasiun TV yang diculik sekelompok gerilyawan.
Bersama puluhan wartawan lainnya, aku meliput pembebasan juru kamera tersebut yang kabarnya disandera jauh dari Bukit Arjuna. Lima wartawan yang dipercayai gerilyawan, ikut bersama mediator ke hutan belantara yang menjadi lokasi penyanderaan. Mereka ingin wartawan ikut melihat langsung bahwa sandera diperlakukan secara baik-baik. Gerilyawan terpaksa menyandera juru kamera tersebut karena dalam mobilnya ditemukan seorang perempuan yang ternyata istri tentara. Gerilyawan curiga juru kamera itu intel yang menyaru sehingga ditahan beberapa hari untuk diperiksa. Namun, operasi militer besar-besaran membuat para gerilyawan pindah dari satu hutan ke hutan lainnya sehingga juru kamera itu pun terpaksa dibawa. “Kami sudah berniat melepaskan Arjuna. Tapi operasi militer membuat posisi kami sulit,” begitu kata panglima gerilyawan wilayah timur kepada wartawan melalui telepon satelit.
Nama juru kamera itu memang Arjuna. Aku hendak mengatakannya sebagai sebuah kebetulan. Tapi ustad pernah mengingatkanku bahwa tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Tidak ada sebutir pasir pun yang bergeser dari tempatnya tanpa kehendak Allah. Aku percaya itu.
Sambil menunggu kabar berikutnya, kami memutuskan untuk minum-minum di Bukit Arjuna. Tak peduli munculnya kecurigaan orang maksud keberadaan kami di sana. Wartawan selalu ada dalih; untuk investasi. Dan alasan itu tak sepenuhnya salah ketika kami melihat kenyataan ternyata Bukit Arjuna menjadi tempat pekerja seksual bertransaksi dengan sopir truk. Seorang lelaki tua pemilik warung, bercerita asal muasal nama Bukit Arjuna.
“Dulu, ada wartawan bernama Arjuna disandera dan kemudian ditembak mati. Kabarnya, mayatnya dikuburkan di sini. Tapi tidak diketahui pasti.” Senyum nakal kami saat melirik seorang perempuan muda berpakaian minim seketika cair mendengar kalimat itu. Seorang rekan sampai bertanya kembali untuk menegaskan pendengarannya. Tak ada di antara kami yang pernah mendengar kisah penyanderaan sebelumnya, sehingga setiap kata yang ke luar dari mulut lelaki itu membuat keterkejutan kami kian menjadi. Juru kamera disandera, dan tewas dalam kontak senjata. Gerilyawan terjepit operasi militer besar-besaran, dan kemudian jenazah Arjuna terpaksa dikuburkan seadanya di tempat ini yang tidak diketahui pasti. Mungkin di dalam bilik yang dari dalamnya kami mendengar desahan perempuan, atau jangan-jangan di bawah kaki kami.
Aku memandangi wajah rekan-rekan. Mereka terdiam dengan muka tegang seolah kejadian itu akan terulang lagi terhadap Arjuna. Tak ada di antara kami yang bergerak. Kami masih menunggu, mungkin sampai pagi. Menunggu kabar baik di tempat seburuk ini.
Bukit Arjuna, awal Januari 2011
Sumber Postingan : Ayi Jufridar,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar