Selasa, 07 Januari 2014

Ada Apa Dengan Perdidikan Berkarakter ?

Sobat Blogger.......
Penguatan pendidikan moral (moral education) atau pendidikan karakter (character education)  dalam konteks sekarang sangat relevan untuk mengatasi krisis moral yang sedang melanda di negara kita. Krisis tersebut antara lain berupa meningkatnya pergaulan bebas, maraknya angka kekerasan anak-anak dan remaja, kejahatan terhadap teman, pencurian remaja, kebiasaan menyontek,penyalahgunaan obat-obatan, pornografi, dan perusakan milik orang lain sudah menjadi masalah sosial yang hingga saat ini belum dapat diatasi secara tuntas, oleh karena itu betapa pentingnya pendidikan karakter.

Menurut Lickona, karakter berkaitan dengan konsep moral (moral knonwing), sikap moral (moral felling), dan perilaku moral (moral behavior). Berdasarkan ketiga komponen ini dapat dinyatakanbahwa karakter yang baikdidukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan perbuatan kebaikan. Bagan dibawah ini merupakan bagan kterkaitan ketiga kerangka pikir ini.
 Pengertian Pendidikan Karakter Menurut Ahli



Pengertian Pendidikan Karakter Menurut Ahli


1.  Pendidikan Karakter Menurut Lickona
Secara sederhana, pendidikan karakter dapat didefinisikan sebagai segala usaha yang dapat dilakukan untuk mempengaruhi karakter siswa. Tetapi untuk mengetahui pengertian yang tepat, dapat dikemukakan di sini definisi pendidikan karakter yang disampaikan oleh Thomas Lickona. Lickona menyatakan bahwa pengertian pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang inti.


2.  Pendidikan Karakter Menurut Suratno
Suratno  mendefinisikan karakter sebagai cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, maupun  negara.






3.  Pendidikan Karakter Menurut Kertajaya
Karakter adalah ciri khas yang dimiliki oleh suatu benda atau individu. Ciri khas tersebut adalah asli dan mengakar pada kepribadian benda atau individu tersebut, serta merupakan “mesin” yang mendorong bagaimana seorang bertindak, bersikap, berucap, dan merespon sesuatu (Kertajaya, 2010).



4.  Pendidikan Karakter Menurut Kamus Psikologi
Menurut  kamus psikologi, karakter adalah kepribadian ditinjau dari titik tolak etis atau moral, misalnya kejujuran seseorang, dan biasanya berkaitan dengan sifat-sifat yang relatif tetap (Dali Gulo, 1982: p.29).


Nilai-nilai dalam pendidikan karakter


Ada 18 butir nilai-nilai pendidikan karakter yaitu , Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerja Keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa Ingin Tahu, Semangat Kebangsaan, Cinta tanah air, Menghargai prestasi, Bersahabat/komunikatif,Cinta Damai, Gemar membaca, Peduli lingkungan, Peduli social, Tanggung jawab.
Lebih jelas tentang nilai-nilai pendidikan karakter dapat di lihat pada bagan dibawah ini

nilai-nilai pendidikan karakter
18 Nilai Pendidikan Karakter




Pendidikan karakter telah menjadi perhatian berbagai negara dalam rangka mempersiapkan generasi yang berkualitas, bukan hanya untuk kepentingan individu warga negara, tetapi juga untuk warga masyarakat secara keseluruhan. Pendidikan karakter dapat diartikan sebagai the deliberate us of all dimensions of school life to foster optimal character development (usaha kita secara sengaja dari seluruh dimensi kehidupan sekolah/madrasah untuk membantu pembentukan karakter secara optimal.
Pendidikan karakter memerlukan metode khusus yang tepat agar tujuan pendidikan dapat tercapai. Di antara metode pembelajaran yang sesuai adalah metode keteladanan,  metode pembiasaan, dan metode pujian dan hukuman.


5 KESALAHAN PENERAPAN PENDIDIKAN KARAKTER 
DI SEKOLAH / LEMBAGA PENDIDIKAN


PertamaPenerapan pendidikan karakter tidak diawali dengan perumusan yang jelas dan tegas tentang karakter inti yang akan dibangun atau dikehendaki oleh sekolah/Lemdik. Dalam diskursus pendidikan karakter ini disebut dengancore values. Ketika ditanya, ”karakter apa  yang akan dibangun?” banyak sekolah kebingungan menjawabnya. Atau menjawab dengan jawaban yang ngambang dan bias. demikian pula dengan pemerintah melalui Depdiknas yang juga terlalu luas dan akhirnya tidak pasti ketika menetapkan 18 karakter yang harus dimiliki siswa. Konsep yang tidak jelas dan tidak sejalan dengan prinsip-prinsip pendidikan karakter. Dalam rumusan 18 tersebut hal yang sebenarnya bukan karakter dalam konteks pendidikan karakter masih dijejalkan dengan paksa.

 Keduapendidikan karakter tidak diawali dengan promosi program kepada pengguna jasa pendidikan danstakeholder. Dalam hal ini adalah orang tua, masyarakat, korporasi/instansi, dan pemerintah. Setelah melakukan perumusan yang jelas dan tegas secara otonom, sekolah semestinya mempromosikan karakter inti yang akan dibangun itu, terutama kepada orang tua siswa. “Ini lho karakter yang akan dibangun di sekolah kita. Bapak/Ibu silakan mengawasi dan mengevaluasi apakah karakter ini nantinya muncul dalam diri anak-anaknya atau tidak. Tolong bantu dan kawal kami dalam program ini.” Demikian misalnya, ditegaskan oleh kepala sekolah kepada orang tua siswa, masyarakat, dan pemerintah.
Tanpa promosi karakter, pendidikan karakter hanya akan menjadi tanggung jawab sekolah belaka padahal tidak demikian adanya. pendidikan karakter adalah tanggung jawab semua. Tanpa promosi pula bahkan tidak mustahil pendidikan karakter hanya lipstik belaka.

Ketiga, ini adalah kesalahan paling umum yang dilakukan para guru. Setiap kali mendengar kata pendidikan maka yang tersirat dibenaknya adalah mata pelajaran. Atau dengan kata lain, pendidikan diidentikkan dengan mata pelajaran. Pendidikan lingkungan hidup dipahami sebagai mata pelajaran pendidikan lingkungan hidup (PLH), pendidikan keselamatan lalu lintas diartikan mata pelajaran keselamatan lalu lintas, pendidikan anti korupsi ditafsirkan mata pelajaran pendidikan anti korupsi. Begitupan pendidikan karakter dianggapnya sebagai mata pelajaran baru. Kesalahan ini tentu akibat dari ketiadaan pemahaman yang komprehensif terhadap pendidikan karakter. Akhirnya menjadi semakin gemuklah daftar nama mata pelajaran dan beban belajar anak di sekolah.
Sejatinya, pendidikan karakter adalah sebuah program bukan mata pelajaran. Sebagai program, pendidikan karakter semestinya merasuki, mewarnai, dan menjiwai seluruh komponen dan istrumen pendidikan di sekolah. Maka sejatinya, semua guru adalah guru karakter. Semua kegiatan adalah kegiatan karakter. Semua staf adalah staf karkater. Semua pemandangan adalah pemandangan karakter. Hingga pembantu sekolah dan tukang jualan pun memiliki peran karakter.

Keempatmenurut saya ini adalah kesalahan paling menggelikan. Dengan dalih integrasi pendidikan karakter ke dalam mata pelajaran, maka dibuatlah kebijakan Silabus dan RPP berbasis karakter. Isinya, 18 karakter amanat pemerintah harus dicantumkan dalam Silabus dan RPP. Banyak guru dan kemudian sekolah merasa telah menerapkan pendidikan karakter dengan cara ini. Padahal bila dikaji dan ditelaah secara seksama pencantuman 18 karakter tersebut sama sekali tidak menyiratkan integrasi pendidikan karakter ke dalam mata pelajaran. Sangat  mudah dan instan, cukup dengan menambahkan komponen “Karakter Yang Dibentuk” pada RPP. Selesai.
Bila yang dimaksud adalah integrasi pendidikan karakter ke dalam mata pelajaran atau ke dalam kegiatan belajar mengajar, maka seharusnya karakter inti yang dibangun sekolah itu termuat secara menyatu dengan indikator atau tujuan pembelajaran, bukan  sebagai daftar khusus yang sekadar tempelan. Sebab  pada indikator dan tujuan belajar itulah hasil belajar diukur.


Kelimatidak dipahami secara utuh perbedaan karakter dengan kebiasaan, keterampilan, dan kompetensi. Dalam 18 rumusan karakter amanat Depdiknas keempat hal yang berbeda bercampur aduk. Karakter dalam diskursus pendidikan karakter setidaknya harus memenuhi dua syarat berikut: 1) berupa perilaku atau sikap yang dibutuhkan untuk berinteraksi dengan orang lain. Maka membaca bukan karakter sebab itu hanya bersifat internal tidak untuk berinteraksi; 2) sikap tersebut bersifat universal dan transenden. Artinya bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat melampaui perbedaan suku, ras, dan agama. Maka cium tangan misalnya bukan karakter sebab bagi suku tertentu mungkin tidak berlaku. Aspek karakter bukan pada cium tangan tetapi pada sikap hormat. Sebab suku, ras, dan agama apapun sama-sama mengajarkan sikap hormat.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...