Senin, 11 Juni 2012

Resolusi Konflik



Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik membuat keadaan yang tidak tenang bagi pihak bertikai dan tetangga sekelilingnya, yang oleh karenanya harus ditangani agar berakhir atau didamaikan. Dari perspektif pendekatan penanganan konflik, terdapat tiga terminologi dominan dan seringkali mengundang perdebatan dalam implementasinya, meskipun satu dan lainnya tidak terlalu signifikan untuk dipertentangkan oleh karena memuat elemen-elemen yang saling melengkapi, yaitu (1) resolusi konflik, (2) manajemen konflik, dan (3) transformasi konflik. Ketiga model pendekatan tersebut juga dipandang sebagai tahap-tahap dalam suatu proses, dimana satu tahap akan melibatkan tahap sebelumnya. Misalnya tahap "resolusi konflik" akan mencakup tindakan-tindakan "pencegahan konflik" atau "conflict prevention". Namun  akhirnya istilah "resolusi konflik" seringkali digunakan oleh berbagai kalangan baik pada tataran akademik maupun praktis.
Resolusi konflik merupakan suatu terminologi ilmiah yang menekankan kebutuhan untuk melihat perdamaian sebagai suatu proses terbuka dan membagi proses penyelesaian konflik ke dalam beberapa tahap sesuai dengan dinamika siklus konflik.  Lund (1996), misalnya berupaya untuk menempatkan resolusi konflik sebagai salah satu bagian dari proses perdamaian. Bagi Lund, usaha untuk menciptakan perdamaian tidak harus diawali saat perang terjadi dan juga tidak harus berakhir ketika kekerasan bersenjata telah berakhir dan terwujud perdamaian. Perdamaian harus dilihat sebagai sebuah proses yang berupaya untuk membongkar sumber-sumber kekerasan yang ada dalam struktur sosial. Dengan demikian upaya resolusi konflik harus di tempatkan dalam ruang gerak siklus konflik agar mendapatkan gambaran yang komprehensif tentang eskalasi konflik dan mendapatkan solusi yang tepat untuk mengatasi dinamika-dinamika konflik yang spesifik.
Menurut Nicole Ball, resolusi konflik memiliki dua tahap yaitu negosiasi dan penandatanganan perjanjian formal penghentian permusuhan (Cessation of Holisties). Dari tahap pertama yaitu negosiasi, konflik yang terjadi masih diwarnai oleh pertikaian bersenjata yang memakan korban jiwa sehingga pengusung resolusi konflik berupaya untuk menemukan waktu yang tepat untuk memulai (entry point) proses resolusi konflik. Karena ini masih berurusan dengan adanya konflik bersenjata, proses resolusi konflik harus bergandengan tangan dengan orientasi-orientasi militer. Proses resolusi konflik dapat dimulai jika didapat indikasi bahwa pihak-pihak yang bertikai akan menurunkan tingkat eskalasi konflik. Intervensi militer mendapat pengakuan dari sisi politik dan legal, artinya bahwa penggunaan kekuatan militer hanya bisa dilakukan jika ada persetujuan politik dari lembaga-lembaga pemerintahan yang berwenang. Persetujuan ini penting didapat agar operasi-operasi militer dapat dievaluasi melalui mekanisme politik yang ada dan dapat dijadikan bagian dari suatu strategi perdamaian yang lebih komprehensif.
Operasi militer untuk menurunkan eskalasi konflik merupakan tugas berat. Oleh karena itu hal ini mendapat perhatian dari beberapa lembaga internasional, termasuk UNHCR dengan cara menerbitkan panduan operasi militer pada tahun 1995, yang berjudul “A UNHCR Handbook For The Military On Humanitarian Operations”. Panduan yang sama juga di publikasikan oleh Institute for International Studies, Brown University pada tahun 1997 dengan judul “A Guide to Peace Support Operations”.
Tahap kedua dari proses resolusi konflik adalah Cessation of Holisties yang memiliki nilai strategis terhadap transformasi terwujudnya perdamaian antara kedua belah pihak. Tahap ini dapat dimulai bersamaan dengan penerapan intervensi kemanusiaan untuk meringankan beban penderitaan korban-korban konflik, dengan cara mendekat secara langsung ke titik sentral peperangan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa korban sipil dan potensi pelanggaran HAM terbesar berada di pusat peperangan dan di lokasi tersebut tidak ada yang dapat melakukan operasi penyelamatan selain pihak ketiga.
Bersamaan dengan intervensi kemanusiaan ini masih dapat dilakukan negosiasi antar elite dalam usaha untuk membuka peluang (entry) perdamaian. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tahap ini kental dengan orientasi politik yang bertujuan untuk mencari kesepakatan politik (political settlement) antara aktor-aktor dalam konflik. Kegiatan negosiasi ini kemudian diikuti dengan problem-solving yang memiliki orientasi sosial. Kegiatan ini diarahkan menciptakan suatu kondisi yang kondusif bagi pihak-pihak antagonis untuk melakukan transformasi suatu konflik yang spesifik ke arah resolusi (Jabri: 1996, 149).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...