Konflik berasal dari kata kerja Latin configere
yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan
sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga
kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain
dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik membuat
keadaan yang tidak tenang bagi pihak bertikai dan tetangga
sekelilingnya, yang oleh karenanya harus ditangani agar berakhir atau
didamaikan. Dari perspektif pendekatan penanganan konflik, terdapat tiga
terminologi dominan dan seringkali mengundang perdebatan dalam
implementasinya, meskipun satu dan lainnya tidak terlalu signifikan
untuk dipertentangkan oleh karena memuat elemen-elemen yang saling
melengkapi, yaitu (1) resolusi konflik, (2) manajemen konflik, dan
(3) transformasi konflik. Ketiga model pendekatan tersebut juga
dipandang sebagai tahap-tahap dalam suatu proses, dimana satu tahap akan
melibatkan tahap sebelumnya. Misalnya tahap "resolusi konflik" akan
mencakup tindakan-tindakan "pencegahan konflik" atau
"conflict prevention". Namun akhirnya istilah "resolusi konflik"
seringkali digunakan oleh berbagai kalangan baik pada tataran akademik
maupun praktis.
Resolusi konflik merupakan suatu
terminologi ilmiah yang menekankan kebutuhan untuk melihat perdamaian
sebagai suatu proses terbuka dan membagi proses penyelesaian konflik ke
dalam beberapa tahap sesuai dengan dinamika siklus konflik. Lund
(1996), misalnya berupaya untuk menempatkan resolusi konflik sebagai
salah satu bagian dari proses perdamaian. Bagi Lund, usaha untuk
menciptakan perdamaian tidak harus diawali saat perang terjadi dan juga
tidak harus berakhir ketika kekerasan bersenjata telah berakhir dan
terwujud perdamaian. Perdamaian harus dilihat sebagai sebuah proses yang
berupaya untuk membongkar sumber-sumber kekerasan yang ada dalam
struktur sosial. Dengan demikian upaya resolusi konflik harus di
tempatkan dalam ruang gerak siklus konflik agar mendapatkan gambaran
yang komprehensif tentang eskalasi konflik dan mendapatkan solusi yang
tepat untuk mengatasi dinamika-dinamika konflik yang spesifik.
Menurut Nicole Ball, resolusi konflik memiliki dua tahap yaitu negosiasi dan penandatanganan perjanjian formal penghentian permusuhan (Cessation of Holisties). Dari
tahap pertama yaitu negosiasi, konflik yang terjadi masih diwarnai oleh
pertikaian bersenjata yang memakan korban jiwa sehingga pengusung
resolusi konflik berupaya untuk menemukan waktu yang tepat untuk memulai
(entry point) proses resolusi konflik. Karena ini masih
berurusan dengan adanya konflik bersenjata, proses resolusi konflik
harus bergandengan tangan dengan orientasi-orientasi militer. Proses
resolusi konflik dapat dimulai jika didapat indikasi bahwa pihak-pihak
yang bertikai akan menurunkan tingkat eskalasi konflik. Intervensi
militer mendapat pengakuan dari sisi politik dan legal, artinya bahwa
penggunaan kekuatan militer hanya bisa dilakukan jika ada persetujuan
politik dari lembaga-lembaga pemerintahan yang berwenang. Persetujuan
ini penting didapat agar operasi-operasi militer dapat dievaluasi
melalui mekanisme politik yang ada dan dapat dijadikan bagian dari suatu
strategi perdamaian yang lebih komprehensif.
Operasi militer untuk menurunkan
eskalasi konflik merupakan tugas berat. Oleh karena itu hal ini mendapat
perhatian dari beberapa lembaga internasional, termasuk UNHCR dengan
cara menerbitkan panduan operasi militer pada tahun 1995, yang berjudul “A UNHCR Handbook For The Military On Humanitarian Operations”.
Panduan yang sama juga di publikasikan oleh Institute for International
Studies, Brown University pada tahun 1997 dengan judul “A Guide to Peace Support Operations”.
Tahap kedua dari proses resolusi konflik adalah Cessation of Holisties
yang memiliki nilai strategis terhadap transformasi terwujudnya
perdamaian antara kedua belah pihak. Tahap ini dapat dimulai bersamaan
dengan penerapan intervensi kemanusiaan untuk meringankan beban
penderitaan korban-korban konflik, dengan cara mendekat secara langsung
ke titik sentral peperangan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa
korban sipil dan potensi pelanggaran HAM terbesar berada di pusat
peperangan dan di lokasi tersebut tidak ada yang dapat melakukan operasi
penyelamatan selain pihak ketiga.
Bersamaan dengan intervensi kemanusiaan ini masih dapat dilakukan negosiasi antar elite dalam usaha untuk membuka peluang (entry)
perdamaian. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tahap ini kental
dengan orientasi politik yang bertujuan untuk mencari kesepakatan
politik (political settlement) antara aktor-aktor dalam konflik. Kegiatan negosiasi ini kemudian diikuti dengan problem-solving
yang memiliki orientasi sosial. Kegiatan ini diarahkan menciptakan
suatu kondisi yang kondusif bagi pihak-pihak antagonis untuk melakukan
transformasi suatu konflik yang spesifik ke arah resolusi (Jabri: 1996,
149).
|
Senin, 11 Juni 2012
Resolusi Konflik
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar