Kamis, 14 Oktober 2010

Dampak Kedai kopi Aceh

Kedai Kopi Aceh dan Dampaknya
 
Alhamdulillah, akhirnya nyampe juga ke Aceh. Dan itu artinya saya sudah menjelajahi negeri ini dari "dekat-Sabang" sampai "dekat-Merauke". Maksudnya udah pernah ke Banda Aceh dan Wamena.. Lumayanlah, meskipun tengah-tengahnya masih pada bolong. Belum pernah eksplorasi Sulawesi, ato Kalimantan. Baru pernah mampir doang. Sekali lagi, mayanlah.. masa orang Indonesia belom pernah kemana-mana di negeri sendiri..
Satu hal yang paling menyolok dari kunjungan 3 hari di Banda Aceh adalah budaya kulinernya. Duh.. udah-jauh-jauh ke Aceh kok yang diperhatiin cuma urusan gembul-menggembul doang? Bukan gitu maksudnya.. Ini terjadi karena urusan makanan dan minuman "tampaknya" (pake tanda kutip.. nggak yakin soalnya, daripada sotoy) menjadi salah satu kunci kegiatan masyarakat Banda Aceh. Khususnya minuman.. wa bil khusus.. KOPI.
Tapi kita simpen dulu cerita soal itu sebentar.. Satu yang mau saya bahas adalah soal makanan. Kalau anda diminta nyebut makanan khas Aceh, apa yang terlintas di kepala? Mie Aceh? sama.. saya juga.. dulu, sebelum ke sana..
Sekarang? kalau saya harus menyebut satu makanan favorit orang Banda Aceh, maka saya terpaksa menyebut "Gorengan". Tolong jangan diartikan sempit bahwa gorengan adalah 'fritter' ato sarupaning tahu, comro, singkong yang di tanah jawa dijual oleh -properly named- Abang Gorengan. Bukaaann... Ini gorengan beyond any gorengan..
Dalam waktu kurang dari 2 jam setelah kaki saya menapak di tanah Aceh, saya sudah makan hampir 5 potong ayam goreng, seikat buntelan jeroan (ati ampela jantung) ayam goreng, sepiring cabe ijo goreng dan dua potong pisang goreng.. Menjelang malam, daftar gorengan bertambah dengan burung puyuh goreng, ayam goreng (lagi!), cabe ijo goreng (lagi!), cumi goreng (utuh, dengan ukuran nyaris segede Nokia E71 saya!), telor ceplok (goreng), pisang goreng, tahu goreng, juga mie dan nasi goreng!! Edun!!
Hebatnya, nyaris seluruh gorengan dilakukan dengan bumbu yang super minimalis. Ayam misalnya, hanya ada jejak gurih yang diduga hasil rebusan air kelapa plus garam. Selain itu.. ga ada. Polos, minimalis tapi nendang abis! Dan dari seluruh gorengan itu yang paling menyentuh hati (selain menyentuh lambung tentunya) adalah cabe ijo goreng. I love this thing! Beneran cuma cabe ijo kurus panjang yang digaramin dan digoreng. Cabenya bukan tipe cabe ijo gendut yang sering masuk ke sayur asem. Ini cabe ijo langsing semampai yang sering dipakai di warung padang sebagai Sambel Ijo. Mungkin karena cabe ini digoreng pada minyak bekas goreng ayam, maka rasanya jadi dramatis. Lebay.. tapi jujur, dari seluruh makanan Aceh yang saya cicip, cuma cabe ijo ini yang bikin saya kangen.
Kesukaan orang Aceh dengan gorengan mengingatkan saya pada sejarah Tempura di Jepang. Tempura, contrary to popular belief, bukan masakan asli Jepang. Masakan ini dibawa dan diperkenalkan ke Jepang oleh orang Portugis yang main-main ke sana di abad ke 16 (jauh amat mainnya Mas..). Entah pernah baca dimana dan kapan, samar-samar ingatan saya menunjukkan bahwa bangsa Portugis juga punya interaksi dengan bangsa Aceh. Coba tolong di-check deh.. bener ga? Kalau iya, maka mungkin kegemaran akan goreng-gorengan ini juga diperkenalkan oleh bangsa Portugis yang main-main ke Aceh beberapa ratus tahun lalu. Jika teori ini benar, maka bangsa Portugis mulai sekarang layak kita sebut sebagai "Bapak Abang Gorengan Sedunia"..
Kenapa ingatan saya rada samar-samar.. mungkin karena mabuk kopi.. Kopi buat kehidupan masyarakat Banda Aceh adalah bensin pertamax yang menjalankan mesin budaya dan mesin ekonomi. Dan warung kopi, karenanya, bukan lagi sekadar 'warung'. Warung kopi di Banda Aceh (perlu di sensus nih.. ada berapa ya?) sangat banyak, umumnya berukuran lumayan besar (dengan jumlah kursi di atas 20), buka sejak siang sampai lewat midnight.. Dan RAME!! Pengunjungnya pun beragam. Dulu sih katanya perempuan jarang banget muncul di warung kopi. Tapi minggu lalu saya menemukan banyak meja terisi rombongan anak-anak muda cowok-cewek dalam jumlah yang hampir sama ngopi bareng di Tower Cafe. Yang jelas, mulai dari orang tua, anak muda, sampe ibu-ibu dan anak-anak mampir ke warung kopi. Ada apa sebenarnya di warung kopi?
Di kota tanpa mall (ada satu, belum jadi) dan tanpa bioskop, warung kopi adalah sarana bersosialisasi yang baik dan terbukti. Bapak-bapak yang ngurusin kerjaan, ya ketemunya di warung kopi. Anak muda malem mingguan, ya ke warung kopi. Nonton bola (yang disiarin di tipi), ya di warung kopi. Internetan? di warung kopi (banyak yang provide WiFi lho). Dimana lagi bisa duduk-duduk, ngobrol berjam-jam, dibawah langit Aceh penuh bintang, cuma dengan modal kurang dari 20 ribu perak? Ya di kedai kopi.
Sayangnya, buat beberapa orang dari luar Aceh, kebiasaan ini dimanfaatkan (atau malah dipolitisasi) sebagai alat untuk men-cap bahwa "orang Aceh kerjanya nongkrong di kedai kopi.. Pemalas..". Kalau anda pernah duduk di kedai kopi di Aceh, anda pasti tahu kalau ada kesalahan intonasi pada stigma ini. Yang benar adalah "orang Aceh (be)kerjanya (sambil) nongkrong di kedai kopi.." dan definetely mereka bukan pemalas! Coba bayangkan.. dengan duduk di kedai kopi anda bisa jual tanah 4 hektar, dapat info tender proyek restorasi jembatan lintas kabupaten, dan ikut membantu memecahkan masalah kebersihan kota langsung dengan kepala dinas terkait.. seluruhnya dalam waktu kurang dari 3 jam! Dan anda hanyalah rakyat biasa, bukan pejabat! Sulit kita menemukan komunitas bangsa lain di dunia yang sedemikian efektifnya beroperasi. Jelas, bangsa pemalas tak bisa melakukan itu semua. Di Aceh.. lebih tepatnya, di sebuah institusi bernama Kedai Kopi.. semua bisa!
Di Jakarta, pernah dicoba (entah sengaja, entah tidak) untuk membuat sebuah "kedai kopi" raksasa. Namanya Cilandak Town Square (a.k.a Citos). Puluhan, kalau bukan ratusan, kursi digelar sepanjang lantai satu. Mulai dari kedai kopi Cap Putri Duyung asal Amerika sampai merk lokal bersaing menjaring pengunjung. Apa yang dilakukan orang di Citos? persis seperti yang dilakukan oleh saudara-saudara kita di Aceh. Nongkrong di kedai kopi, ngomongin bisnis, updating news, silaturahmi.. Puluhan ribu harga kopinya per gelas.. sebagian mungkin kopi dari Aceh. Mengenai hasil dan efektifitas obrolan di kedai kopi (di sini, tentu nama resminya adalah cafe), saya belum pernah survey. Tapi seorang sahabat, pebisnis muda yang lumayan sukses pernah berujar.. "kalau ngomong bisnis di cafe ya Van.. biasanya mah nggak bakalan jadi.."
Urusan kedai kopi sebagai sebuah institusi ekonomi, institusi sosial, institusi budaya.. orang Jakarta tampaknya masih harus belajar ke Aceh

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...